07 June 2008

Imunisasi dan Autisme

WHO/Sergei Deshevoi
Berbagai pernyataan, berita, dan kesaksian yang menghubungkan antara pemberian vaksinasi tertentu dengan terjadinya autisme pada anak, telah menimbulkan kekhawatiran tentang keamanan vaksin beberapa tahun belakangan ini. Meskipun beberapa laporan ilmiah telah menyangkal pernyataan-pernyataan tersebut, namun kekhawatiran di kalangan masyaraka masih tetap ada. Lalu sejauh mana kebenaran berita-berita yang beredar tersebut? Adakah bukti bukti atau analisis ilmiah yang bisa dijadikan pegangan? Dan yang terpenting, bagaimanakah seharusnya para orang tua menyikapi hal ini?

Sekilas tentang Autisme
Autisme didefinisikan sebagai kelainan perkembangan pada anak yang ditandai oleh gangguan interaksi sosial, gangguan kemampuan komunikasi, dan kecenderungan melakukan tindakan atau kegiatan-kegiatan yang sifatnya spesifik dan berulang-ulang. Keadaan yang lebih serius dan berat disebut dengan autism spectrum disorders.

Penyebab autisme sendiri dikatakan sangat bervariasi dan hanya sebagian kecil kasus yang penyebab pastinya bisa diidentifikasi. Berbagai sumber ilmiah menyebutkan bahwa peranan komponen genetik sangat dominan dan kelainan syaraf yang menyertai kemungkinan  sudah ada pada masa perkembangan janin.

Diagnosis autisme biasanya bisa dibuat setelah tanda dan gejala, seperti keterlambatan  dalam kemampuan komunikasi dan gangguan tingkah laku, terlihat jelas. Pada sebagian kecil kasus, anak bisa terlihat sangat normal tapi kemudian kembali regresi dan menunjukkan tanda-tanda autisme. Ini disebut dengan regressive autism, yang mana kemungkinan hubungannya dengan pemberian imunisasi secara teori cukup masuk akal.

Kontroversi

Perdebatan mulai muncul sejak tahun 1998 di Amerika dengan adanya pernyataan bahwa akumulasi thimerosal selama masa pemberian imunisasi rutin bisa melewati ambang batas yang diijinkan terhadap tubuh bayi. Thimerosal merupakan bahan pengawet vaksin DPT (Dipteri-Pertusis-Tetanus), DT dan TT yang sudah digunakan sejak tahun 1930an.

Sejak 1989 dan 1998, bahan yang sama ditambahkan pada  vaksin Hepatitis B dan Hemofilus Influenza tipe B (HiB) dan direkomendasikan dalam jadwal imunisasi rutin anak (terutama Hepatitis B). 

Kekhawatiran dengan cepat meluas dengan adanya asumsi bahwa logam berat merkuri bisa menyebabkan gangguan syaraf. Beberapa peneliti juga melakukan perbandingan secara ekologis adanya peningkatan kasus autisme di berbagai negara dengan lamanya program imunisasi.

Kemudian perhatian semakin bertambah dengan adanya laporan dari peneliti di Amerika yang dipublikasi di jurnal ilmiah, Journal of American Physicians and Surgeons tahun 2003, yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara paparan merkuri yang terkandung pada beberapa vaksin dengan gangguan perkembangan otak dan penyakit jantung.

Kontroversi juga terjadi pada pemberian imunisasi MMR (Mumps-Measles-Rubella). Imunisasi campuran ini digunakan untuk mencegah penyakit gondongan, campak dan campak Jerman. Pemberian imunisasi ini biasanya pada umur 12-15 bulan dan 4-6 tahun. Saat ini imunisasi ini belum masuk dalam imunisasi dasar di Puskesmas, meskipun akhir-akhir ini pemberian imunisasi MMR sudah disarankan.

Banyak orang tua yang menolak memberikan imunisasi ini karena adanya pemberitaan-pemberitaan bahwa MMR bisa menyebabkan autisme. Perdebatan akan keselamatan vaksin ini diawali oleh adanya publikasi di majalah terkenal The Lancet awal tahun 1998 yang melaporkan bahwa telah ditemukan gangguan tingkah laku pada 8 dari 12 anak setelah mendapatkan imunisasi ini.

Analisis ilmiah

Sebenarnya beberapa organisasi dunia di bidang kesehatan termasuk WHO sudah melakukan kajian ilmiah dan penelitian dan menyatakan bahwa sejauh ini tidak ada hubungan antara imunisasi dan autisme. Pemberian imunisasi dasar tetap dianjurkan termasuk tetap disarankannya imunisasi MMR yang telah terbukti efikasinya. 

Diakhir 2007, sebuah systematic review, yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Clinical Pharmacology and Therapeutics oleh  DeStefano, menunjukkan bahwa bukti bukti yang ada saat ini tidak mendukung hubungan "sebab akibat" antara vaksin yang mengandung thimerosal ataupun MMR dengan  autisme.

Dalam beberapa analisisnya dinyatakan bahwa penelitian-penelitian yang mendukung adanya hubungan antara vaksinasi dan autisme memiliki banyak kelemahan dari segi metode yang digunakan dan belum cukup kuat untuk menjukkan hubungan sebab akibat bahwa thimerosal adalah penyebab autisme. Sedangkan pada penelitian-penelitian lain yang metodenya memang dirancang khusus untuk mengetahui adanya hubungan "sebab akibat", semuanya mengindikasikan bahwa vaksinasi bukanlah penyebab autisme.

Di awal 2008, the Chocrane Library, penyedia database yang paling terpercaya dibidang kedokteran saat ini, kembali mempublikasikan hasil meta analysis-nya. Sebuah metode yang paling tinggi tingkatannya dalam dunia kedokteran yang berbasis bukti. Demicheli dkk, menganalisis 139 artikel penelitian dan 31 review di seluruh dunia yang memuat hubungan vaksin MMR dan autisme dan memenuhi kriteria dari segi metodologi. Hasilnya masih tetap sama bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pemberian vaksin MMR dan autisme.

Akan tetapi, sekali kontroversi berkembang di masyarakat maka akan sangat sulit untuk dihentikan. Temuan diatas menujukkan bahwa memang benar tidak ada hubungan sebab akibat antara vaksinasi dengan autisme. Namun hasil-hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan (meskipun bukan sebab akibat) antara vaksinasi dan  autismepun tidak bisa di abaikan begitu saja. Pada beberapa kasus dan kesaksian yang beredar, dan dengan mengacu kepada teori yang ada, sangat dimungkinkan bahwa imunisasi menjadi pemicu terjadinya autisme yang memang secara genetik sudah ada. Namun perlu juga diingat bahwa imunisasi bukanlah satu-satunya pemicu terjadinya autisme. Masih banyak fatktor-faktor lain yang perlu diperhatikan.

Sebaiknya para orang tua tidak ragu lagi untuk memberikan imunisasi rutin kepada anaknya dengan tetap memantau tumbuh kembang anak. Kalau ada terlihat tanda-tanda gangguan tingkah laku dan gangguan perkembangan bahasa pada anak maka sebaiknya melakukan konsultasi dengan dokter untuk mengetahui penyebab pasti, mencari jalan keluar dan  memutuskan apakah imunisasi berikutnya dilanjutkan atau tidak.

Panduan dasar berikut ini setidaknya bisa dijadikan acuan dalam memantau perkembangan bahasa anak, khususnya pada umur 0-2 tahun.
  • Sampai akhir bulan ke-3: mulai tersenyum secara spontan, mencoba menirukan suara, mengeluarkan suara-suara datar (babbling)
  • Sampai akhir bulan ke-6: merespon suara dengan mengeluarkan suara, merespon saat namanya dipanggil, mengekspesikan kesenangan dan ketidak senangan melaui suara-suara (sudah berintonasi)
  • Sampai akhir bulan ke-12: menirukan kata-kata, bisa mengucapkan "dada, papa, mama", mengerti perintah sederhana seperti "minum susunya", mengerti kata tidak.
  • Sampai akhir bulan ke-18: menunjuk benda yang disebutkan, mengenali nama-nama orang yang familiar dengannya, mengikuti perintah sederhana seperti "lempar bolanya kesini", bisa mengucapkan hingga 20 kata.
  • Sampai akhir bulan ke-24: bisa menyebutkan nama makanan yang diminta, menggunakan frase sederhana seperti "susu lagi, minta lagi", mulai menggunakan preposisi seperi "di, atas, bawah", bertanya dengan mnggunakan satu sampai dua kata, mengerti dua perintah berurutan seperti: "Taruh bolanya, bawakan saya bonekanya", bisa mengucapkan 50 hingga 100 kata.
Picture was taken from: http://www.who.int/topics/immunization/en/

14 comments:

  1. Banyak isu yag dibikin oleh orang awam sendiri si dok...
    Dan media terlalu membumbuinya...sedangkan sepertinya komunikasi informasi edukasi kita kurang nge-trend, jadi kelibas deh...he..he..

    ReplyDelete
  2. isu ini sudah menjadi konsumsi politik.waktu di jogja ada statemen dari teman-teman LSM kesehatan yang bilang bahwa vaksinasi dan macam-macamnya adalah produk neoimperialis kapitalis.sesuatu yang tidak perlu dibuat menjadi harus demi bisnis untuk persiapan era jaman biologi (saat ini adalah jaman informasi, setelah jaman informasi meredup akan dilibas oleh jaman biologi, jadi tanda-tandanya ketakutan orang akan penyakit-penyakit baru yang sample virusnya ada di penguasa dunia, pasti mengikuti juga kenapa susahnya indonesia mendapat akses sample virus flu burung padahal yang sakit ya orang indonesia, demikian juga isu HIV dan obat ARV). malah si pembicara jelas-jelas seorang dokter senior dan bilang bahwa anak-anaknya satupun tidak ada yang divaksin dan semuanya sehat dan daya tahan tubuhnya baik.nah lho, ternyata dari kalangan medis sendiri masih belum sepakat dan ini tantangan ke depan ya..

    ReplyDelete
  3. wah untuk mendeteksi autisme ini susah juga ya dok? soalnya anak saya yang pertama agak terlambat bicara tapi gak ada tanda2 melakukan sesuatu yang sama berulang2 sih. apa mungkin ini cuma keterlambatan bicara saja atau haruskah sesuatu yang dianggap serius dan perlu penanganan dokter? mohon petunjuknya dokter :D

    ReplyDelete
  4. Kompas juga menulis, bahwa sampai saat ini belum ada kejelasan apa penyebab autisme...diduga merkuri. Di Palangkaraya, yang penduduknya 250.000,- diketemukan penderita autis 200 orang...cukup besar. Di duga (lagi-lagi masih diduga), bahwa penduduk banyak makan ikan dari s. Kahayan yang menerima pencemaran merkuri yang berasal dari limbah pencarian emas oleh masyarakat di dekat sungai.

    Para karyawan yang anaknya autis juga semakin meningkat.....entah apa sebabnya. Polusi? CO2?

    ReplyDelete
  5. » Yudhi Gejali,
    Bukan cuman issu yang dibuat masyarakat, tapi memang publikasi ilmiah tentang itu juga banyak... Tapi memang KIE penting sekali dalam hal ini

    » okanegara,
    Sangat sulit kalau dikalangan medis sendiri masih ada keraguan tentang immunisasi. Padahal dari semua program pencegahan dari tahun 1900an yang terhitung paling sukses menurunkan kematian adalah program imunisasi. kalau satu dua orang bisa membuktikan tidak terjadi apa2, that's coincident :D itu tidak bisa mewakili keseluruhan populasi. Terkadang memang poitik dan policy sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan.. tapi sebaiknya bukan buat immunisasi.

    » ghozan,
    Mendeteksinya memang susah. Tapi kalau keterlambatan memang sering dialami oleh beberapa anak, tapi biasanya dia bisa mengejar kembali di bulan2 berikutnya. Sebaiknya dipantau terus perkembanganya dan yang paling penting memberikan stimulasi yang cukup untuk merangsang tumbuh kembangnya

    » edratna,
    Thanks mbak tambahan infonya sangat berguna. Memang secara ekologis dikatakan terjadi peningkatan kasus2 autisme, tapi menurut saya kasusnya sendiri sebenarnya tidak meningkat. Saat ini masyarakat sudah mulai waspada dan cenderung memeriksakan anakanya kalau ada keterlambatan. Metode diagnosispun mulai lebih baik dan bisa mendeteksi lebih banyak kasus. Jadi secara statisik kasus yang muncul lebih banyak.
    Mengenai merkuri, memang disebutkan methyl merkuri merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya autisme pada anak yang memang secara genetis sudah memiliki bakat autisme. Sedangkan thimerosal pada vaksin mengandung ethyl merkuri yang efeknya jauh lebih aman dari methyl merkuri... Jadi bagi mereka yang tinggal di daerah dengan kadar merkuri di lingkungannya lebih tinggi dari daerah lain sebaiknya waspada... ingat juga bisa terjadi kasus Minamata dan yang di Manado.. bukan cuma autisme

    ReplyDelete
  6. Dok, apa kabarnya? maaf yah udah lama banget gak blogging, jadi PRna juga belum sempet tak kerjain nih :(

    ReplyDelete
  7. wahh.. autis itu sendiri kayak penyakit modern yaa dok.?
    kok kayaknya ngetrend banget.

    ReplyDelete
  8. » Rosa,
    Kabar baik, no worries... maklum penganten baru :D

    » Yanuar,
    Iya lagi ngetrend setelah dihubung-hubungkan dengan immunisasi..

    ReplyDelete
  9. untungnya di Indonesia sudah banyak perkumpulan autis..spt jg indigo, adhd

    plg tdk menyeimbangkan suara2 media yg lbh mementingkan oplah dan hits..
    ayo para peneliti..temukan jawabannya

    ReplyDelete
  10. » dani,
    belum sempat browsing juga sebenarnya bagaimana posisi/pendapat dari kelompok/perkumpulan peduli autis terhadap masalah imunisasi ini.

    ReplyDelete
  11. dok, anak saya dua-duanya belum di imunisasi MMR sebabnya ya itu, karena takut denger isyu-isyu autis. Sekarang saya di thailand, anak saya agustus besok mau masuk TK, MMR sepertinya jadi menu wajib sebelum sekolah dimulai.. kira2 kalau di thailand ini untuk pengawasan obatnya udah bagus belum ya dok.. ? (nggak ada hubnya ya dok :) ) soal nya saya pernah baca milis dulu waktu di jakarta katanya ada rumah sakit swasta internasional di jakarta yang masih pakai vaksinasi yang sudah dilarang di amerika, mungkin dilempar ke asia dengan harga murah.. lha..

    ReplyDelete
  12. » hera,

    Saya kurang tahu situasi pengawasan obat di Thailand, tapi setidaknya hampir mirip dengan di Indonesia.
    Berbagai rumor memang sangat mempengaruhi pandangan orang tua, terutama imunisasi MMR. Kebanyakan dari info tsb adalah hoax dan sebaiknya disikapi dengan bijaksana. Keuntungan yang diperoleh dari pemberian imunisasi MMR saat ini jauh melebihi akibat yang tidak diinginkan yang mungkin muncul.. semoga membantu

    ReplyDelete
  13. Added on 21 June 2008

    Di awal 2008, the Chocrane Library, penyedia database yang paling terpercaya dibidang kedokteran saat ini, kembali mempublikasikan hasil meta analysis-nya. Sebuah metode yang paling tinggi tingkatannya dalam dunia kedokteran yang berbasis bukti. Demicheli dkk, menganalisis 139 artikel penelitian dan 31 review di seluruh dunia yang memuat hubungan vaksin MMR dan autisme dan memenuhi kriteria dari segi metodologi. Hasilnya masih tetap sama bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pemberian vaksin MMR dan autisme.

    ReplyDelete
  14. dok tolong kasih informasi donk tentang faktor-faktor yang mempengaruhi imunisasi,terimakasih

    ReplyDelete

Follow this blog!