"Selamat pagi dr. Adi…
Mau tanya ni dok, kebetulan sedang ada tugas kuliah tentang etik kedokteran, begini soalnya:
Ada seorang gadis 16 th, hamil di luar nikah, ibunya membawanya ke dokter kandungan dan ingin kandungan itu digugurkan. Sebenarnya si gadis tidak keberatan dengan keamilannya tersebut dan bersedia mempertahankannya. Jika dokter menolak, si ibu mengatakan akan membawa anaknya ke dukun pijat atau bidan yang mau melakukan.
1. Pada kasus ini, dimana si gadis masih di bawah umur, di tangan siapakah hak untuk mengambil keputusan?
2. Adakah resiko jika kehamilan dipertahankan?
3. Jika dokter menolak aborsi, perlukah si dokter membuat surat pernyataan penolakan aborsi?(dikhawatirkan terjadi sesuatu di kemudian hari)
Jika tidak perlu, apakah yang seharusnya dilakukan dokter jika dia menolak melakukan aborsi?
Terima kasih dok untuk jawabannya, ditunggu segera….
Arum"
Dear arum,
Soalnya susah amat :D saya bukan ahli etika kedokteran,tapi saya akan memberikan pendapat pribadi saya dari sedikit pengetahuan dan pengalaman saya dalam bidang bioethics
Dari kasus tersebut kata kuncinya adalah si gadis (16 th) dan tidak keberatan dengan kehamilannya, berarti secara psikologis dia sudah siap.
1. Hak untuk mengambil keputusan dari aspek legal/hukum saya kurang tahu, apakah diatur atau tidak seperti hak pilih dalam Pemilu. Tapi menurut saya yang lebih penting adalah mengkategorikan apakah anak itu sudah berpikir dewasa atau belum. Di usianya tersebut ia termasuk seorang mature minor yaitu seorang yang sudah dapat mengerti dan menilai tindakan yang akan dilakukan dan konsekuensinya. Jadi menurut saya, sebaiknya pengambilan keputusan diberikan kepada si gadis, karena dia yang akan menjalani kehidupannya, dan memiliki hak untuk menentukan masa depannya.
2. Dari segi usia (<20 tahun) si gadis termasuk dalam KRT (kehamilan resiko tinggi), yaitu memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya kelainan dalam kehamilan dan persalinan dibandingkan dengan ibu hamil di usia 20-35. Secara sosial psikologis kehamilan di luar nikah juga memberikan tambahan risiko. Jadi perlu pemeriksaan kehamilan yang teratur dan dukungan psikologis dari orang-orang disekitarnya jika kehamilannya mau dilanjutkan.
3. Tidak perlu. Indikasi melakukan aborsi tidak ada. Ini mengacu pada kode etik kedokteran/KODEKI, penjelasan pasal 10, abortus provocatus, hanya dibenarkan untuk tujuan menyelamatkan ibu dan atau bayi, kalau tidak salah dalam UU Kesehatan juga ada disebutkan. Disini malah si gadis sendiri menginginkan kehamilannya. Jadi penolakan dokter adalah benar.
Yang harus dilakukan adalah
- menerangkan secara terbuka kepada ibunya aspek hukum pidana (kalau tahu) jika menyarankan atau menganjurkan seseorang melakukan aborsi. Semua yang terlibat, ibu, gadis dan dokter bisa dijerat pasal2nya KUHP.
- menerangkan aspek etika kedokteran (kodeki) tentang indikasi dibolehkannya melakukan aborsi.
- yang paling penting menjelaskan risiko dan komplikasi2 yang akan muncul jika tindakan aborsi dilakukan di dukun pijat atau tempat lain yang tidak memenuhi standar medis. Dalam Risk Communication ada dua metode utama yaitu figuring out how to calm people dan figuring out how to scare people. Nah metode kedua bisa dipilih demi kebaikan si gadis.
Semoga membantu!
No comments:
Post a Comment